9.
AGAMA DAN MASYARAKAT
Hmmmmm pada kali ini ane mau ngebahas materi
terakhir dari tugas ane, yaitu tentang Agama dan Masyarakat. Ada ulasan sedikit
nih dari ane hehe…
Menurut ane sih agama itu merupakan
pedoman suatu masyarakat untuk lebih mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.
Apa hubungan nya dengan masyarakat? Ane mengambil contoh yaitu negara
kita, negara kita itu terdiri dari
berbagai macam suku, ras, dan agama. Dari perbedaaan tersebut harusnya tidak
terjadi kesenjangan agama, sehingga didapatkan situasi yang kondusif dalam
bernegara, yaaaaa saling toleransi antar sesama umat beragama lah.. .
Ini ane bebrapa foto tentang materi
ini hehe…
Dari foto diatas menjelaskan tentang
bagaimana seseorang memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti acara taklim.
Isi dari materi taklim tersebut bervariasi yaa tentunya diajarkan juga cara
mentoleransi perbedaan agama, bahwasannya agamanya yang kita peluk itu
merupakan keyakinan dari setiap individu yang hidup.
A. Pengertian Agama Dan Masyarakat
Masyarakat
adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto,
1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan,
atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif
terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, 240.271.522 penduduk Indonesia
terbagi dalam berbagai penganut agama, yaitu :
- Islam
: 86,1%
- Protestan : 5,7%
- Katolik : 3%
- Hindu : 1,8 %
- Budha : 3,4%
Dalam UUD 1945
dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan
mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk
menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara
resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Konghucu.
Dengan
banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar
agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis
Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun
golongan. Program transmigrasi
secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur
Indonesia.
Berdasar
sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama
keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India,
Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah
berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan
Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu
Cu (Confusius)”.
- Islam : Indonesia merupakan
negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88%
dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat
dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera.
Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
- Hindu : Kebudayaan dan agama
Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya
dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram
dan Majapahit.
- Budha : Buddha
merupakan agama tertua kedua di Indonesia,
tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia
berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
- Kristen Katolik : Agama Katolik
untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh
di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di
Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa
Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang
rempah-rempah.
- Kristen Protestan : Kristen
Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda
(VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik
dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di
Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang
ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia,
seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan
Sunda.
- Konghucu : Agama Konghucu
berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh
para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi,
orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara.
Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada
kepercayaan dan praktik yang individual.
B. Fungsi-Fungsi Agama
Tentang Agama
Agama
bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari
berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat
berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima
dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang
penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan
wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi
komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh.
Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan
(lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan
tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.
Agama
berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh
seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia.
Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran.
Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang
tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu
berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan
bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang
harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan.
Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka
yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka
yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal
tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali
kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka
dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup
diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan
yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan
tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada
pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi
ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi
kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu
dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual
ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka
menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan
intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka
memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu
terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka
akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua
harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami
banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan
kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat
ditangkap secara inderawi.
Padahal,
pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi
potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama
ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan
segala potensinya.
Agama,
dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia
untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup.
Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur.
Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang
bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya
adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan
membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi
petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan
dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan
yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran
ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol
mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran
agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang
dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan-
disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas
dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan
dimensinya.
Pelembagaan Agama
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengupamakan sebagai sebuah telepon. Jika
manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti
kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau
dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh
pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama.
Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari
lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut
bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan
penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng
pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang
mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus
itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi
juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di
Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde
Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi.
Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk
penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi
pemerintah.
Namun
ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut
suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian
terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang
formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran
agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama
monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian.
Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai
cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya
pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa - desa.
Demi
pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan
di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman
air dan pupuk yang segar.
Anehnya
sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin
segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya
dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup
yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu
yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini
semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik”
dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Agama
sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak
memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui
dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan
bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan
tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut
agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya:
- Agama memasukkan pengaruhnya
yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
- Nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi
fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan
yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri
yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya
tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan
kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang
sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan
terhadap adat-istiadat.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu
akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan
di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama
yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama
melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk
memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam
perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu
jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan.
Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan
adatif.
Pengalaman
tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis
kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan
pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas
pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami
“wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi
dari pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga
ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting
seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah,
sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi
’anil munkar)
Dari
contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola
ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau
organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual,
tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama
adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan
agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.